Pengendalian Gulma pada Tanaman Balangeran (Laporan Praktikum Kehutanan Masyarakat)

Pengendalian Gulma pada Tanaman Balangeran (Laporan Praktikum Kehutanan Masyarakat)

Postingan ini diperbarui 14 Desember 2021

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman Balangeran (Shorea balangeran (Korth.) Burck.) merupakan sejenis kayu yang tergolong kelas kuat-II dan mempunyai berat jenis 0,86 yang habitat aslinya berada di hutan rawa (Suryanto, dkk., 2012). Sehingga tanaman ini banyak digunakan dalam produksi kayu lapis, mebel, maupun kayu pertukangan. Akibat banyaknya permintaan untuk produksi kayu Shorea balangeran, tetapi disisi lain jumlah populasi terus mengalami penurnan akibat penebangan (Pamoengkas dan Prasetia, 2014).

Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya menjalin kerjasama dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kahayan (BPDAS Kahayan) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia melalui program Kebun Bibit Rakyat (KBR) melakukan penanaman Shorea balangeran di Hutan Kampus Universitas Palangka Raya (Yanarita, 2019).

Permasalahan yang sering muncul dalam kegiatan penanaman Shorea balangeran adalah adanya gangguan gulma yang akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman pokok. Gulma selain dapat menganggu dalam kompetisi dalam hal air, zat hara, sinar matahari dengan tanaman pokok juga dapat berfungsi sebagai inang hama dan penyakit (Dawson dan Holstun, 1971).

Selain itu gulma memiliki peranan lain yaitu sebagai alelopati, alelomediasi dan alelopoli. Alelopati merupakan gulma dapat mengeluarkan bahan kimi untuk menekan bahkan mematikan tumbuhan atau tanaman lain. Alelomediasi adalah gulma sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis hama tertentu atau gulma sebagai penghubung antara hama dengan tanaman budidaya. Dan alelopoli adalah gulma bersifat monopoli atas air, unsur hara, dan sinar matahari (Riry, 2008).

Pengendalian gulma dapat dilakukan secara kultur teknik, mekanik, biologis, kimiawi dan terpadu (Cholid, 2004). Pengendalian gulma secara biologis merupakan teknik yang memperhatikan pengaruh interaksi antar tanaman baik pengaruh positif maupun negatif yang mengutamakan pengendalian secara alami dengan menciptakan keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan gulma dan meningkatkan daya saing tanaman terhadap gulma. Oleh karena itu perlu dilakukan pratek tentang pengendalian gulma terhadap Shorea balangeran menggunakan tumbuhan kunyit dan ubi jalar.


1.2 Tujuan Praktikum

Praktikum kehutanan masyarakat tentang pengendalian gulma pada tanaman balangeran bertujuan untuk:

  1. Mengetahui jenis gulma yang mengganggu pertumbuhan Shorea balangeran.
  2. Menghilangkan kemelimpahan gulma (kerapatan mutlak dan frekuensi mutlak) sebelum dan sesudah dilakukan penanaman penahan gulma


1.3 Manfaat Praktikum

Manfaat praktikum kehutanan masyarakat tentang pengendalian gulma pada tanaman balangeran adalah:

  1. Diketahui jenis-jenis gulma dominan yang mempengaruhi pertumbuhan Shorea balangeran merupakan langkah awal yang menentukan keberhasilan pengendalian gulma.
  2. Diketahuinya jenis tanaman semusim yang dapat mengendalikan pertumbuhan gulma sehingga dapat mengurangi pemeliharaan tanaman Shorea balangeran baik dari segi tenaga maupun biaya.

Baca juga: Makalah Penyuluhan Kehutanan di Hutan Rakyat


II. METODE PRAKTIKUM

2.1 Tempat dan Waktu Praktikum

Praktikum Kehutanan Masyarakat tentang pengendalian gulma pada tanaman balangeran dilaksanakan di hutan  pendidikan (KBR) Universitas Palangka Raya Yos Sudarso Ujung pada tanggal 20 Mei sampai 27 Juni 2019.


2.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Tanaman Shorea balangeran dengan tinggi 90-120 cm dan Tanaman kunyit dan ubi jalar.

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah Tali rafia, Tongkat ukuran 1,5 m, Parang, Meteran, Plastik/kresek, Buku pengenal gulma, dan Alat tulis menulis.


2.3 Cara Kerja

Cara kerja dalam praktikum Kehutanan Masyarakat adalah:

  1. Mencari dan menetapkan obek pengamatan di Hutan Kampus berdasarkan kriteria tinggi 90-120 cm.
  2. Membuat patok menggunakan tongkat setinggi 1,5 m dengan jarak 1x1 m mengelilingi tanaman Shorea balangeran dan mengikatkan tali rafia sebagai petak pengamatan.
  3. Mencabut gulma yang terdapat dalam petak pengamatan, memasukkan ke dalam plastik/kresek.
  4. Menanam tanaman pengendali gulma (kunyit dan ubi jalar) mengelilingi tanaman Shorea  balangeran dengan jarak 30-50 cm.
  5. Menghitung jenis gulma dan jumlah setiap individu gulma yang dicabut tadi.
  6. Mengidentifikasi gulma menggunakan buku pengenal gulma.
  7. Melakukan pengamatan pada petak pengamatan setiap satu minggu selama satu bulan, meliputi : gulma yang tumbuh kembali, jumlah setiap individu gulma, tananaman pengendali gulma yang hidup.
  8. Melakukan dokumentasi pada setiap kegiatan di atas.


2.4 Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Untuk  menghitung kelimpahan gulma yang meliputi kerapatan dan frekuensi digunakan rumus sebagai berikut:

1. Kerapatan Multak = jumlah individu gulma dalam satu spesies.

Kerapatan relatif = (kerapatan multak spesies tertentu/jumlah kerapatan multak semua jenis) x 100%


2. Frekuensi multak = jumlah petak sampel yang memuat jenis itu.

Frekuensi relatif = (frekuensi multak satu spesies/frekuensi semua jenis) x 100%


III. PEMBAHASAN

Tanaman Balangeran

Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki oleh manusia, karena akan merugikan manusia baik langsung maupun tidak langsung (Tjitrosoedirjo et al., 1984). Tumbuhan yang lazim menjadi gulma mempunyai ciri yang khas yaitu pertumbuhannya cepat, mempunyai daya saing kuat dalam memperebutkan faktor-faktor kebutuhan hidup, mempunyai toleransi yang besar terhadap suasana lingkungan yang ekstrim, mempunyai daya berkembang biak yang besar baik secara vegetatif atau generatif maupun keduaduanya, alat perkembangbiakannya mudah tersebar melalui angin, air maupun binatang, dan bijinya mempunyai sifat dormansi yang memungkinkan untuk bertahan hidup yang lama dalam kondisi yang tidak menguntungkan (Nasution, 1986). 

Dalam sistem pertanian gulma tidak dikehendaki karena akan menimbulkan banyak kerugian antara lain: menurunkan hasil, menurunkan mutu, sebagai tanaman inang hama dan penyakit, menimbulkan keracunan bagi tanaman pokok seperti allelopati, mempersulit pengolahan tanah, menghambat atau merusak peralatan, mengurangi debit dan kualitas air, serta menambah biaya produksi. 

Pada pengamatan gulma di plot yang ditanami kunyit mempunyai frekuensi dan kerapatan lebih besar dari pada ubi dikarnakan kunyit merupakan tanaman yang lambat tumbuh dalam jangka waktu 4 minggu, hal tersebut kunyit harusnya memiliki pertumbuhan tunas di ruang penympanan ataupun di lapangan, dengan atau tanpa cahaya matahari. Setelah umbi mengakhiri masa dormansi, tunas akan segera tumbuh. 

pertumbuhan tunas bergantung pada suhu dan kelembaban. Sedangkan yang ditanam pada plot pengamataan suhu dan kelembapan sangat tinggi sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan yang lambat pada kunyit. Suhu tinggi akan memacu pertumbuhan tunas dan jika kondisi tanah kering, umbi akan kehilangan bobot sehingga tunas tumbuh lebih lambat. Umbi yang digunakan sebagai bibit adalah umbi yang sudah memiliki tunas sepanjang 1 cm. Tunas apical yang sudah setinggi 3 cm dibuang untuk menghilangkan dominansi apikal dan memacu munculnya tunas lateral agar pertumbuhan lebih seragam. 

Hingga gulma akan merambat pada tanaman dari mulai akan hingga ujung, terkadang tanaman yang ditempel oleh gulma akan memiliki pertumbuhan yang sangat lambat dan salah satu cara untuk menghilangkan gulma yang merambat adalah dengan cara mencabut akarnya saja, karena kalo akarnya sudah jauh dari tanah maka gulmapun akan mati dengan sendirinya. Setiap tanaman memang memiliki hak untuk hidup dan berkembang, namun jika tanaman itu mengganggu dan tidak ada manfaat positifnya bagi manusia, maka haruslah dibasmi demi sebuah kebaikan yang akan di dapat.

Mulyani dan Kartasapoetra (1988) cit, Noorhadi dan Utomo (2002) menyatakan bahwa tinggi tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan. Besarnya faktor lingkungan terhadap tanaman tergantung kemampuan tanaman untuk memanfaatkan pengaruh lingkungan tersebut. Ditambah Abadi et al. (2013), gulma memiliki kebutuhan dasar yang sama untuk pertumbuhan dan perkembangan seperti air, hara, cahaya, CO2 dan ruang tumbuh. Kondisi ini dapat menyebabkan persaingan antara gulma dan tanaman. Keseimbangan antara munculnya tunas baru dengan mengeringnya cabang tua tidak setara sehingga jumlah cabang ubi jalar mengalami fluktuasi (Junaedi, 2005). Selain itu pada minggu pertama tanaman ubi jalar sudah mulai memasuki fase pembentukan umbi, sehingga pertumbuhan vegetatif seperti pertambahan jumlah cabang mulai mengalami penurunan. 

Pertumbuhan gulma di sekitar tanaman pokok mulai mengganggu perkembangan tanaman utama, sehingga terjadi perebutan unsur hara,air dan cahaya matahari yang menyebabkan pertumbuhan jumlah cabang ubi jalar terhambat. Mulyani dan Kartasapoetra dalam Noorhadi dan Utomo (2002) menyatakan bahwa pertambahan jumah cabang sangat dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan. Besarnya faktor lingkungan terhadap tanaman tergantung kemampuan tanaman untuk memanfaatkan pengaruh lingkungan tersebut. Hal yang menyebabkan produksi umbi rendah yaitu unsur hara yang tersedia rendah. Menurut Harjadi (2000) menyatakan bahwa rendahnya produksi bisa terjadi karena faktor tanaman itu sendiri, fase pertumbuhan ubi jalar didominasi pada pertumbuhan vegetatif yang menyebabkan pertumbuhan vegetatif berlebihan dan dengan bersamaan kurangnya pembentukan umbi. 

Akibatnya sedikit sekali karbohidrat yang tersisa untuk perkembangan umbi. Fase vegetatif dan reproduktif yang tidak seimbang serta penggunaan dan pemupukan yang tidak seimbang menyebabkan karbohidrat yang terdapat pada umbi sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa potensi hasil asimilat (source) yang ditranlokasikan ke pembentukan umbi (sink) terbatas atau sebagian ditranlokasikan untuk pertumbuhan batang. Tranlokasi hasil asimilat sebagian besar dikirim kebagian umbi bila terjadi kekurangan hara. 

Hal ini terjadi akibat adanya persaingan antara tanaman dengan gulma dalam memperebutkan unsur hara, air, sinar matahari dan ruang tumbuh. Perlakuan interval penyiangan 2 minggu sekali memberikan hasil yang terbaik, hal ini karena penyiangan yang dilakukan sebelum masa kritis tanaman akan memberikan hasil yang maksimal. Dugaan tersebut diperkuat oleh Tarigan dkk (2013), menyatakan bahwa penyiangan yang tepat dilakukan setelah tanam menyebabkan kehadiran gulma pada periode kritis tidak terganggu.

Pada frekuensi dan kerapatan plot pembanding memiliki gulma yang lebih banyak dari pada pengamatan, hal tersebut dikarnakan gulma sama halnya dengan tumbuhan lain, yang banyak membutuhkan air untuk hidupnya. Air diserap dari dalam tanah dan sebagian besar diuapkan (transpirasi)dan hanya sekitar 1% yang digunakan untuk proses fotosintesis. Untuk tiapkilogram bahan organic gulma membutuhkan 330-1900 liter air.

Kebutuhan yang besar tersebut hampir dua kali kebutuhan pertanaman. Persaingan memperebutkan air terutama terjadi pada pertanian lahan kering atau tegakan.Setiap lahan berkapasitas tertentu dalam mendukung pertumbuhan berbagai pertanaman dan pertumbuhan yang tumbuh di permukaannya (Tarigan dkk, 2013).

Jumlah bahan organik yang dapat dihasilkan pada lahan itu tetap walaupun komposisi tumbuhannya berbeda. Karena itu bila gulma tidak dikendalikan, sebagian hasil bahan organic pada lahan itu berupa gulma (Tarigan dkk, 2013).


IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan dalam praktikum kehutanan masyarakat tentang pengendalian gulma pada tanaman balangeran ini adalah  :

  1. Pada plot pengamatan menunjukan bahwa gulma ilalang mempunyai kerapatan yang tinggi dengan nilai 40,78% dan gulma karamunting mempunyai nilai frekuensi yang tinggi dengan nilai 22,58.
  2. Pada plot pembanding menunujukkan bahwa gulma rumput benggala mempunyai kerapatan yang tinggi dengan nilai 39,92% dan gulma karamunting mempunyai nilai frekuensi yang tinggi dengan nilai 26,67%.
  3. Plot yang ditanami kunyit menunjukkan bahwa gulma ilalang mempunyai kerapatan yang tinggi dengan nilai 41,86% dan gulam ilalang, paku udang mempunyai nilai frekuensi yang tinggi dengan nilai 40,00%.
  4. Plot yang ditanami ubi jalar menunjukkan bahwa gulma karamunting mempunyai nilai kerapatan dan frekuensi yang tinggi dengan masing-masing nilai 63,79% dan 44,44%.
  5. Kelimpahan gulma yang mendominasi tanaman balangeran adalah gulma karamunting.


4.2 Saran

Saran dalam praktikum kehutanan masyarakat tentang pengendalian gulma pada tanaman balangeran ini adalah untuk melanjutkan laporan ini ada baik menggunakan rancangan penelitian supaya dapat mengetahui secara pasti hubungan gulma dengan tanaman balangeran.

Baca juga: Makalah Metode Komunikasi Kehutanan


DAFTAR PUSTAKA

Abadi, I.J,H. Sebayang, dan E. Widaryanto. (2013). Pengaruh Jarak Tanam dan Pengendalian Gulma pada pertumbuhan dan hasill pertanaman ubi jalar (Ipomoea batatas L.) Jurnal Produksi Tanaman. 1 (2): 2-9 

Harjadi S.S. (2000). Pengantar Agronomi.. PT. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta

Junaedi E. (2005). Pengaruh pupuk N-P-K terhadap status Nitrat dan Kalium tajuk serta pertumbuhan dan Kalium tajuk serta pertumbuhan dan produksi bi jalar (Ipomoea batatas L Lam. Skripsi. Jurusan Budidaya pertanian . FAPERTA IPB

Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu dan Mulyani Sutejo, M dan A.G., Kartasapoetra. (1988). Pemupukan dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta, Jakarta.

Pengendalian Gulma. Buku I. Rajawali Periode Kritis Kacang Hijau Terhadap Press. Jakarta.

Tjitrosoedirdjo, S., I.H. Utomo dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma Di Perkebunan. PT. Gramedia, Jakarta.

Utomo, D. Nuswandri, A.P. Lontoh. 1986. Gulma. Prosiding Konfrensi ke VIII.HIGI. Bandung.


Silahkan download laporan praktikum kehutanan masyarakat tentang pengendalian gulma pada tanaman balangeran di bawah ini,

Download full-text PDF


Salam Lestari,
Lamboris Pane

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel