2 Klasifikasi Hujan (Hidrologi dan Pengelolaan DAS)

2 Klasifikasi Hujan (Hidrologi dan Pengelolaan DAS)

Postingan ini diperbarui 25 Januari 2022

Faktor utama penyebab besarnya debit sungai adalah hujan, intensitas hujan, luas daerah hujan, dan lama waktu hujan. Intensitas hujan berubah dengan lama waktu hujannya. Semakin lama waktu hujannya, semakin berkurang deras rata-rata hujannya. 

Hubungan antara deras rata-rata hujan dan lama waktu berlangsungnya hujan untuk berbagai tempat tidak sama dan harus ditentukan sendiri bersarkan pengamatan dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, data curah hujan dapat digunakan untuk mengetahui nilai debit sungai, disamping menggunakan data pengaliran sungai (Hartini, 2017).

Curah hujan dinyatakan dengan tingginya air dalam suatu tabung, biasanya dalam milimeter. Untuk mengukur curah hujan digunakan alat ukur hujan (rain gauge), yang dikenal antara lain, adalah alat ukur hujan yang dapat mengukur sendiri dan alat ukur hujan biasa. Alat ukur pengukur hujan biasa, digunakan untuk mengukur curah hujan dalam satu hari dan kurang tepat untuk mengetahui intensitasnya dan lamanya itu berlangsung. 

Alat pengukur hujan yang mencacat sendiri sesuai untuk mengukur intensitas dan lamanya hujan, sangat cocok dan tepat untuk pengukuran hujan dengan jangka waktu yang lama di daerah-daerah pegunungan dimana para pengamat sulit untuk tinggal lama di daerah itu (Hartini, 2017).

Tipe-tipe hujan dapat ditentukan atas dasar dua sudut pandang yang berbeda. Suatu klasifikasi dapat dilakukan baik atas dasar genetis (asal mulanya) maupun atas dasar bentuknya.

Berikut 2 klasifikasi hujan adalah:

Baca juga: Mengenal Parameter dan Pengukuran Curah Hujan


1. Klasifikasi Genetik

Klasifikasi genetik merupakan klasifikasi hujan yang didasarkan atas timbulnya presipitasi. Agar terjadi hujan, terdapat tiga faktor utama yang penting, yaitu suhu yang lembab, inti kondensasi (partikel debu, kristas garam, dan lain sebagainya), dan suatu perubahan kelembaban, sehingga kondensasi dapat terjadi. Pengangkatan air ke atas dapat berlangsung dengan cara pendinginan sinklonik, orografik maupun konventif (Hartini, 2017).


a. Pendinginan Sinklonik

Pendinginan sinklonik terjadi dalam dua bentuk. Pendinginan sinklonik non-frontal terjadi bila udara bergerak dari kawasan di sekitarnya ke kawasan yang bertekanan rendah. Dalam proses tersebut udara memindahkan udara bertekanan rendah ke atas, mendingin, dan menghasilkan presipitasi berinteraksi sedang (5-15 cm dalam 24-72 jam) dan berlangsung lama. Pendingin sinklonik frontal terjadi jika massa udara yang panas naik di atas suatu tepi frontal yang dingin (Hartini, 2017).

 

b. Pendingin Orografik

Pendinginan ini terjadi oleh aliran-aliran udara samudera yang lewat di ata tanah dan dibelokkan keatas oleh gunung-gunung di pantai. Sebagian besar presipitasi jatuh pada sisi lereng arah datangnya angin. Jumlah presipitasi yang lebih baik, disebut dengan bayangan hujan, terjadi pada sisi kemiringan lereng karena hilangnya sebagian besar lengas oleh gunung-gunung yang tinggi (Hartini, 2017).


c. Pendinginan Konventif

Pendinginan ini terjadi apabila udara panas oleh pemanasan permukaan, naik dan mendingin untuk membentuk awan dan terjadi presipitasi. Presipitasi konventif merupakan presipitasi yang berlangsung sangat singkat (jarang melebihi 1 jam) namun berintensitas sangat tinggi. Presipitasi total dapat berjumlah hingga 8 cm atau 10 cm (Hartini, 2017).


2. Klasifikasi Bentuk

Klasifikasi bentuk adalah klasifikasi hujan dengan perbedaan yang sederhana tetapi mendasar dapat dibedakan antara presipitasi vertikal dan horizontal. Presipitasi vertikal jatuh di atas permukaan bumi dan di ukur oleh penakar hujan.


a. Presipitasi Vertikal

Adapun hal penting dalam presiptasi vertikal, adalah (Hartini, 2017):

  1. Hujan adalah air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang dikondensasikan dari uap air di atmosfer.
  2. Hujan gerimis adalah hujan dengan tetesan yang sangat kecil.
  3. Hujan salju adalah kristal-kristasl kecil air yang membeku secara langsung dibentuk dari uap air di udara bila suhunya pada saat kondensasi kurang dari nol derajat celsius.
  4. Hujan batu es adalah gumpalan es yang kecil, kebulat-bulatan yang dipresipitasikan saat hujan badai.
  5. Sleet adalah campuran hujan dan salju. Hujan ini disebut juga glaze (salju basah).


b. Presipitasi Horinzontal

Adapun hal penting dalam presipitasi horinzontal, adalah (Hartini, 2017):

  1. Es adalah salju yang sangat padat.
  2. Kabut adalah uap air yang dikondensasikan menjadi partikel-partikel air halus di dekat permukaan basah.
  3. Embun beku adalah bentuk kabut yang membeku di atas permukaan tanah dan vegetasi.
  4. Embun air adalah air yang dikondensasikan sebagai air di atas permukaan tanah dan vegetasi yang dingin terutama pada malam hari. Embun ini menguap pada malam hari.
  5. Kondensasi pada es dan dalam tanah adalah kondensasi juga menghasilkan presipitasi dalam udara basah, hanya yang mangalir di atas lembaran es dan pada iklim sedang di dalam beberapa sentimeter bagian atas tanah.

Baca juga: 3 Cara Menentukan Curah Hujan Rata-rata dalam Penentuan Hujan Kawasan


Sumber:

Hartini, E. 2017. Modul Hidrologi dan Hidrolika Terapan. Universitas Dian Nuswantoro. Semarang.


Salam Lestari,
Lamboris Pane

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel